Papa dan 212
Kenalkan, kedua dari kiri yang imut-imut itu papa. Papa baru operasi pasang 3 ring pembuluh darah -setelah sebelumnya gagal- sebulan yang lalu. Di usianya yang 61, papa juga mengidap darah rendah dan gak boleh aktivitas yang berat-berat.
Papa bukan simpatisan partai tertentu. pasca 98, setau saya papa tidak pernah setia memilih satu partai tertentu. Papa juga bukan anggota ormas islam mana pun, walau sebagai orang aceh pemahaman islamnya bisa dibilang sama persis dengan NU*. Sekarang juga papa hanya mengikuti pengajian di komplek rumah, yang setau saya sepaham dengan NU. Papa sudah pensiun. Dengan kondisinya, jelas papa tidak akan pergi ke jakarta sekedar karena perintah ormas, apalagi demi materi.
Bicara 98, saya sempat mendapat teman baru di rumah. Namanya awi, keturunan etnis cina yang menginap di rumah kami bersama keluarganya beberapa hari. Padahal papa ‘cuma’ kenal keluarga yang berlainan agama itu karena sering beli peralatan elektronik di toko mereka. Jelas papa tidak anti sama etnis atau agama tertentu.
Papa dan kami sekeluarga juga termasuk yang pro Indonesia saat konflik. Jadi jelas kami tidak anti NKRI. Papa juga orang yang sering berkata kita tidak pernah benar-benar tahu tentang niat dan karakter politisi, dan sangat hati-hati berkomentar tentang mereka. Jelas papa bukan haters tokoh tertentu.
Terlepas dari banyak kelebihannya -yang beberapa tidak terwariskan ke saya terlepas usaha papa, sayangnya- papa juga bukan orang yang benar-benar idealis. Papa pernah membayar saat diperas polantas, daripada menghabiskan waktu menuntut yang memang haknya. Saat mahasiswa, saya tidak pernah tertarik ikut demo juga karena larangan papa, walau mungkin kami setuju dengan tuntutannya. Papa juga sering shalat subuh di akhir waktu, kebiasaan yang sayangnya terwariskan ke saya.
Papa jelas bukan pasukan bayaran, bukan pasukan fanatik ormas/partai tertentu, bukan anti cina, bukan anti NKRI, dan berhati-hati saat berkomentar tentang politisi. Tapi 2 desember 2016 ini papa ada ke monas di antara jutaan manusia lainnya.
Saya mengerti, beberapa teman Indonesia saya di sini (australia) trauma akibat kerusuhan 98. Beberapa lagi menganggap aksi seperti ini sering ditunggangi kepentingan politik, dan yang ikut aksi ini kebanyakan orang yang hanya ‘diarahkan’ oleh tokoh idolanya, atau bahkan pasukan bayaran. Tapi jelas papa tidak termasuk di dalamnya, dan saya yakin bukan papa sendirian yang seperti itu di antara jutaan manusia lainnya. Ada orang-orang yang bergerak karena cintanya, cinta pada agamanya, pada kitabsucinya, pada Tuhannya. Mungkin memang tidak masuk akal orang tua yang rela keluar kota hanya untuk beramai-ramai jumatan dan berdoa, tapi bukankah cinta memang di luar logika?
Ps: papa tidak main fb atau medsos lainnya. Benar, postingan ini niatnya hanya pamer papa tercinta yang bikin saya bangga sebagai anaknya, walau saya sendiri cukup malu untuk menyatakannya secara langsung. Kalau mama yang main fb menunjukkan postingan ini ke papa, mungkin saya tetap tidak berani mengatakannya langsung kalau ditanya papa.
Melbourne, 02.05 AEST, 3 Desember 2016. Seorang anak kurang ajar yang kelelahan karena sibuk mengejar dunia seminggu belakangan, dan tidak menyempatkan menelepon orangtuanya.
*Dakwah Islam sampai di Aceh dahulu baru ke pulau jawa, dan ulama aceh umumnya tidak menginduk ke organisasi NU dan punya organisasi sendiri yang lebih tua walau pahamnya sama. Kebanyakan teman-teman NU sendiri yang saya kenal memilih tidak ikut aksi, berbeda dengan muslim aceh (yang pahamnya sama) yang cenderung pro aksi.
**foto di bawah adalah foto papa dan rombingan dari komplek perumahan kami.
Tulisan di atas adalah salinan dari status fb saya. Tambahan: ternyata PWNU Jakarta juga turut serta dalam aksi 212, malah merupakan salah satu posko terpanjang.